Jumat, 11 Januari 2013

Pegawai Negeri itu Bukan Tuhan


Pastinya, orang yang menulis tulisan ini tidak lebih hebat dari pembacanya, baik ilmunya, wawasannya, maupun pengalamannya. Namun, ini sekedar tegur sapa kemanusiaan sesame pencari nafkah. Berdasarkan perbincangan dalam berbagai pertemuan, rupanya sebagian besar diantara kita masih ngiler ingin menjadi pegawai negeri. Emosi kita lumayan terkuras memimpikan label Pegawai Negeri. Ada gengsi, prestise, dan pastinya gaji tetap bulanan, dimana nominalnya makin hari makin menggoda.
Menjadi Pegawai Negeri merupakan keinginan yang wajar, cita-cita yang normal, dan khayalan yang mulia. Namun, semua ini akan menjadi tidak wajar dan tidak normal jika kita menganggap bahwa kemuliaan, kesuksesan, dan kebahagiaan hanya akan diperoleh ketika menyandang gelar Pegawai Negeri. Akibatnya buruk, kita minder dan potensi tidak akan tereksplorasi secara maksimal. Selain itu, hubungan dengan pegawai negeri lainnya juga akan sedikit terganggu dan kita akan kehilangan percaya diri.
Menyiasati kondisi yang demikian, mari kita niat diri bekerja, yaitu pengabdian. Dalam hal ini, kita mengabdi pada Tuhan dengan cara merawat kesehatan diri dan keluarga, serta berusaha member nafkah yang halal.
Marilah kita sempurnakan ikhtiar di tengah-tengah keterbatasan. Pastinya, sesuai dengan kemampuan kita. Semangat member harus terus kita kobarkan. Tanamlah kebaikan. Pada saatnya, kita akan memanen buah kebaikan yang kita tanam meskipun belum diketahui waktunya. Namun, itu merupakan sebuah kepastian.
Di sela-sela kesibukan bekerja, pekerja kreatif tentu tidak akan membiarkan waktunya berlalu tanpa diisi dengan hal-hal yang posiitif; imajinasi positif, pikiran positif, dan tindakan positif. Insya Allah, sikap ini akan melahirkan sesuatu yang positif.
Kita percaya bahwa rezeki tidak hanya melalui dari gaji pegawai negeri. Bahkan seseorang yang sudah mempunyai gaji tetap pun jika tidak pintar mengatur keuangan, niscaya gajinya tidak akan pernah cukup. Akhirnya, tumbuh subur budaya mengutang. Kita sering mendengar berita tentang oknum pegawai negeri yang kehabisan uang sebelum gajian berikutnya tiba. Kita juga banyak menyaksikan pemandangan mengagumkan, yaitu pekerja biasa yang mampu mencicil motor, bahkan mencicil rumah dan hanya memiliki utang dalam kategori wajar. Mereka adalah orang-orang yang berjiwa besar.
Jika kita adalah pekerja yang terpenjara dalam pikiran “harus menjadi pegawai negeri”, berarti kita harus curiga terhadap diri sendiri, sebab hal itu bisa menyebabkan kita terperosok dalam kehancuran akhlaq dan gampang berbohong. Misalnya, kita baru mengabdi di dunia pendidikan selama sepuluh tahun, tetapi kita menulisnya selama 20 tahun lebih. Tujuannya, agar kita mudah mendapatkan nilai sertifikasi. Atau, tatkala ada oknum tertentu yang menawarkan jasa untuk meloloskan kita menjadi pegawai negeri asal kita memberikannya uang sebanyak 60-100 juta, mungkin kita pun dengan mudahnya akan menjual asset keluarga atau asset mertua, bahkan mungkin aset calon mertua. Tindakan seperti ini bisa membuat kita masuk dalam kelompok orang-orang yang menjual kebenarandengan harga yang sedikit, yaitu menghalalkan yang diharamkan Allah dan Rosul-Nya melalui prilaku sogok-menyogok.
Selamat buat bapak dan Ibu Guru yang sudah berhasil menjadi pegawai negeri. Sedangkan, untuk Ibu, Bapak, Saudara dan Saudari yang belum berstatus pegawai negeri, marilah kita maksimalkan anugrah yang Tuhan titipkan pada kita. Asal kita bergerak, insya Allah rezeki materi tetap akan kita peroleh. Predikat pegawai negeri itu bukanlah yang menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan kita.

(sumber: The spirit Of Succes_Jalan Meraih Mimpi karya M.L. Nihwan Sumuranje)

Related Post:

0 komentar:

Posting Komentar